Baca Juga
Seruan pertama yang turun kepada Nabi Muhammad ﷺ bukan “Shalli” (shalatlah) atau “Zakki” (berinfaklah), tapi “Iqro’”. Sebuah kata yang kerap kita artikan sebagai “bacalah”. Tapi makna di baliknya jauh lebih dalam daripada sekadar mengeja huruf demi huruf atau melafalkan ayat demi ayat.
“Iqro’” bukan hanya soal membaca dalam arti tilawah yang berarti membawa atau menyampaikan. Iqro’ adalah proses menghimpun. Bukan sekadar menghimpun kata, melainkan menghimpun pengetahuan, data, dan literasi. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Beliau bukan hanya menerima wahyu, tapi menata pengetahuan dari wahyu dan realitas, untuk kemudian menjadikannya cahaya bagi umat manusia.
Dalam era informasi hari ini, kita dibanjiri data. Tapi apakah semua data itu berarti? Tidak. Data harus dianalisis. Dihimpun dengan cermat. Disaring, direnungkan, lalu disimpulkan. Tanpa proses ini, kita hanya menjadi penampung informasi, bukan penggerak pengetahuan.
Al-Qur'an pun memberi sinyal bahwa tidak semua hal harus diterima mentah-mentah. Dalam Al-Mulk ayat 10, digambarkan penyesalan para penghuni neraka yang berkata, “Seandainya dahulu kami mendengar atau berpikir (menalar), kami tidak akan jadi penghuni neraka.” Ini bukan sekadar kritik terhadap kekafiran, tetapi teguran kepada siapapun yang menonaktifkan akalnya.
Menyelami Hikmah Musa dan Khidir
Kisah Nabi Musa dan Khidir dalam surah Al-Kahfi adalah potret betapa ilmu tak selalu kasatmata. Ketika Khidir membolongi kapal (ayat 79), Nabi Musa protes. Tapi tindakan itu ternyata menyelamatkan para nelayan dari kezaliman penguasa. Analogi ini sering digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan bid’ah praktik baru dalam agama.
Imam Syafi’i, rujukan utama dalam fiqh kita, bersama Ibnu Taimiyyah, membagi bid’ah menjadi dua: bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah dhalalah (sesat). Kriterianya bukan soal baru atau tidak, tapi soal apakah ia bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Jika sesuai, maka ia bagian dari dinamika ijtihad. Jika bertentangan, maka ia harus ditinggalkan.
Rasulullah ﷺ sendiri telah memberi kita prinsip untuk menyaring: “Innamal a’malu binniyat” (segala amal tergantung niatnya), dan “Halal itu jelas, haram itu jelas.” Dua hadits ini menjadi landasan utama Imam Syafi’i dalam memisahkan mana bentuk inovasi yang sah, dan mana yang tidak.
Literasi Adalah Jalan Panjang
Iqro’ mengajarkan pentingnya literasi yang luas dan heterogen. Bukan hanya membaca Al-Qur’an, tetapi juga memahami dunia. Membaca realitas. Menyelami sejarah. Menggali hikmah dari peristiwa. Literasi yang kokoh mencegah kita dari fanatisme buta dan penghakiman cepat.
Dalam proses hijrah sekalipun, literasi harus dibarengi bimbingan. Sebab hijrah tanpa guru bisa berujung pada kesesatan yang dibungkus semangat. Banyak orang tersesat bukan karena niat yang buruk, tapi karena tidak ada yang membimbing arah langkahnya. Dalam Islam, sanad rantai keilmuan adalah ruh. Dan ruh ini tidak bisa digantikan oleh sekadar semangat.
Cukup Menjadi Muslim
Di tengah geliat identitas, label, dan klaim eksklusif, cukupkan diri dengan satu nama: Muslim. Tanpa embel-embel. Tidak perlu ditambah “salafi”, “sunni”, “moderat”, atau “progresif”. Cukuplah kita jujur pada Allah dan berserah diri pada ajaran Rasul-Nya.
Karena pada akhirnya, Iqro’ adalah ajakan untuk menjadi manusia yang terus belajar, terus mengolah akal, terus menyucikan niat, dan terus menghidupkan Islam dalam bentuknya yang paling jernih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar